Ini pengalaman pertama gue pergi camping di bromo. Karena gue suka segala hal yang berbau praktis. Gue mengIYAkan ajakan temen-temen gue buat ngcamp, biar nggak dikira gue cowok cemen loyo kayak dodol puncak.
Pikir gue, bangun tenda itu lebih mudah dari pada harus bangun rumah tangga. Tapi, kenyataan berkendak lain. 3 jam kita semua harus berjibaku bangun tenda dan itu dilakukan dalam keadaan hujan ditambah suasana malam yang mencekam diatas angin yang meniup pepohonan bromo. Ada kesegaran yang terbawa menemani kita malam itu. Begitu syahdu namun kita tidak bisa melawan alam. Seiring dengan pertanda datangnya malam yang lebih panjang, udara yang dingin yang menusuk tulang.
Kita pun bergegas memasuki tenda, menginjakkan kaki kedalam tenda untuk sekedar memberi napas baru untuk tubuh yang mulai menggigil. Malam di Bromo saat itu begitu sempurna, sebuah malam yang penuh perenungan memasuki jiwa tanpa disadari! Gue merasa terbebas, mungkin teman-teman gue pun merasakannya. “It’s been wonderful journey. Kita semua merasakan kesenangan itu.
Meskipun terpancar sedikit keletihan yang memancar dari mata temen-temen gue”.
Eniwei, setelah itu salah satu temen gue nawarin mie instan dari tenda sebelah, gue bersama dua temen gue yang lain langsung nggak menyia-nyiakan, kita pun dengan lahap menyantap mie instan yang sudah disediakan, meski nasi yang menemani begitu dingin ketika memasuki rongga mulut.
Beberapa saat kemudian temen gue merintih kesakitan, terdengar sayup-sayup dari tenda sebelah rintihan yang tidak asing lagi dengan telinga gue. Suara yang beberapa saat sebelumnya menembus gendang telinga gue. Gue mencoba menenangkan diri. Sesaat setelah itu, gue mencoba mendatangi teman gue di tenda sebelah memastikan bahwa kondisi dia cukup baik. Sounds good, temen gue bisa mengatasinya. Gue pun kembali ke tenda gue membantu temen gue yang lain yang menggigil menyatu dengan udara dingin Bromo, gue membasuhi tubuh dia dengan minyak kayu putih yang gue bawa.
Masih dari puncak Bromo, setelah keheningan beberapa saat, temen gue merintih lagi dengan suara yang sama seperti yang kudengar tadi. Suara perempuan dengan tangis lirihnya. Gue tak pernah membayangkan, suasana berubah begitu mencekam. Suara itu menyatu dengan raga teman gue. Teman gue yang lain membacakan ayat-ayat suci, memperdengarkan tepat ditelinganya. Suara ayat-ayat suci itu begitu menggema memecah keheningan malam yang hampir menenggelamkan kita semua...
Dan setelah kejadian satu hari di Gunung Bromo. Kenangan malam yang terasa panjang itu masih membekas. Kita tak akan pernah tahu ke mana masa depan akan membawa kita? Siapa pula yang tahu? Kita semua hanya ingin melangkah maju...
Sejak saat itu kita semua membangun harapan, membawanya lari di tanah air tercinta ini.
Satu langkah besar terjadi dalam fase hidup kita setelah kejadian malam itu. Perjalanan spritual yang membuka cakrawala kita akan sebuah kemurnian persahabatan. Terimakasih Tuhan alam ini begitu indah. Bromo, engkau membuka tirani mata batin kami. Menyadarkan betapa pentingnya kita menjaga alam, menjaga persahabatan dengan sesama.
“Thank you, thank you! Its so beautiful”
Hujan telah berhenti. Kita pun bergegas meninggalkan Gunung Bromo. Malam itu kita semua makan malam di daerah pasuruan. Sebuah perayaan kecil untuk perjalanan kita bersama ke home-sweet-home, malang.
No comments:
Post a Comment